Senin, 14 Juni 2010

Dalam Memotivasi, Bapakku The Real Professor

Bapakku hanya tamatan Sekolah Rakjat (SR) ongko loro, konon ia tak menempuh sekolahnya secara penuh. Hal ini karena dikelasnya ia terlalu tua dibanding dengan teman-teman yang lain maka oleh gurunya, ia diikutkan program "akselerasi" alias naik kelas tanpa melalui prosedur test akhir tidak pula UAN model anak-anak sekolah zaman sekarang.

Pekerjaan Bapak adalah Jogoboyo, ada pula yang bilang Bayan, (tidak tahu padanannya saat ini). Jabatan ini cukup "prestisius" di kampungku bukan karena sistem gajinya yang menjanjikan atau tunjangan jabatannya yang menjulang tetapi karena ia akan sangat sibuk dan dibutuhkan banyak orang ketika ada anak sunatan atau tengah malam ada orang lairan, bahkan ketika ada orang berkelahi karena rebutan batas pekarangan.

Kerjaan administratif yang pernah ia lakoni paling banter adalah memungut ipeda (PBB) dan iuran lumbung padi. Ia terpilih bukan karena penguasaan akuntansinya setara dengan Safir Senduk, atau cara mendekati wajib pungutnya yang menerapkan pelayanan prima seperti KPP Pratama, tetapi oleh lurah ia terpilih mengurus tugas ini karena kejujurannya yang luar biasa. Untuk yang satu ini saya sangat salut, jangankan untuk melakukan korupsi berangan-angan saja tidak pernah. Padahal waktu itu belum ada satgas anti korupsi karena memang korupsi belum "diberantas". Andai saja saat ini ia bergelar Sarjana Hukum atau lulusan akademi Polisi pasti ia aku daftarkan jadi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bapak tak pernah langganan koran, paling baca koran bekas bungkus kacang goreng sehabis nonton wayang. Beliau buta teknologi, tak pernah pula kuliah atau seminar-seminar yang membicarakan motivasi. Aku pastikan ia tak pernah mengenal Maslow, atau Frederick Hertzberg, mahaguru motivasi. Bapak tak pernah menyimak kata-kata bijaknya Renald Kasali, salam supernya Mario Teguh, atau semangat "dahsyatnya" Tung Dasem Waringin. Tapi dalam hal memotivasi khususnya untuk anak-anak dan istrinya aku mengapresiasi lebih dengan acungan jempol. Tidak dengan teori-teori yang rumit atau tulisan-tulisan yang susah aplikasinya, Bapak memberi motivasi dalam tataran yang sangat praktis, mudah dicontoh, dan pastinya sangat mengena bagi orang-orang yang dimotivasi.

Sebagai contoh, (ini tak pernah mungki aku lupakan) Ketika aku duduk di bangku SD, setiap akhir catur wulan ketiga menjelang test akhir, Bapak selalu meminta (memerintahku) untuk belajar. Tak panjang kalimatnya "Sinau" (belajar-jawa), diucapkan dengan nada memerintah dan sedikit mengancam. Kali ini aku pasti sangat merasa terterot dengan kata-kata itu.

Setelah mendapat perintah belajar, mau tidak mau aku harus melaksanakan belajar dengan sungguh-sungguh. Dan soal hasil Bapak tau betul bagaimana menyikapinya. Jika aku sudah belajar dengan sungguh-sungguh dan mendapat ringking 3-1 di kelasku, Bapak akan memberikan penghargaan, Bapakku pasti langsung mengajakku ke restoran paling enak di kotaku (versi Bapak). Aku merasa sangat tersanjung, senang dan bangga, bahwa perjuanganku meraih prestasi dihargai Bapak, meski hanya diajak ke restoran yang sebenarnya lebih pantas disebut "warung makan".

Ritualnya selalu hampir sama setiap tahun, selesai pengambilan raport, aku dibonceng dengan sepeda onthel sejauh 3 KM oleh Bapak. Beliau memboncengkanku sambil bercerita, "orang sekolah itu penting, kamu bisa jadi apa saja dengan sekolah dan pinter". Kamu tidak harus susah manjat kelapa menjadi tukang ngunduh, atau harus panasan jadi buruh tani begitu Bapak memberikan motivasi agar aku rajin belajar. "Cukup Bapak saja yang jadi orang bodo, anak-anak Bapak harus jadi orang pinter, agar hidupnya tak susah dan menyusahkan orang lain" begitu kelanjutan nasihatnya.

Selanjutnya sepeda dititipkan, lalu kami melaju dengan angkutan umum sejauh 10 KM untuk mencapai kota kecil itu. Kami berjalan-jalan sejenak untuk sampai restoran yang kami tuju. Hebatnya Bapak selalu memesankan menu paling spesial di restoran itu untukku. Aku sering tanya, "apa lauknya boleh dibawa pulang" mengingat di rumah tak pernah makan seperti ini. dan aku ingat dengan kakak-kakakku. Beliau menjawab "habiskan saja" ini hari istimewa untukmu. Saat-saat seperti itu begitu terkesan di jiwa dan ragaku hingga hari ini ketika aku telah menjadi seorang Bapak.

Aku yakin apa yang Bapak lakukan dengan "mentraktirku" di restoran dengan menu yang super mewah itu memerlukan perjuangan tersendiri darinya. Mungkin ia harus menghemat beberapa hari atau lebih giat ngunduh, bekerja agar mampu mengumpulkan duit dan mempersembahkan penghargaan itu padaku.

Namun bagaimanapun dengan penuh syukur aku yakin Bapak sekarang telah mengunduh apa yang menjadi tanaman dan perjuangannya dalam memotivasi anak-anaknya; tiga anaknya sekolah sampai tingkat atas, dua diantaranya sarjana, dan mudah2an tahun depan Bapak bisa berangkat haji, tentunya atas izin Alloh dan dukungan semua keluarga (Insya Alloh).

Belakangan setelah aku kuliah, aku baru menyadari bahwa apa yang dilakukan Bapak dalam menyemangatiku belajar jumbuh dengan teorinya Professor Frederick Hertzberg yang sangat terkenal di dunia manajemen yaitu teori "Carrot and Stick".

Bapak tahu betul dalam melakukan motivasi pada anak-anaknya. Meskipun dengan cara berbeda ada yang sama dari Bapak yaitu selalu memberi motivasi pada anak-anaknya. Buatku, meski tak seprofesor seperti Maslow, Frederick Hertzberg atau Renald Kasali. Bapak adalah The Real Professor dalam hal memotivasiku, hingga hari ini, besok, dan kelak.

Terima kasih Bapak, terima kasih profesor.

Semoga Alloh mengasihinya, memberikan hidup yang berkah dan umur yang manfaat