Selasa, 29 Desember 2009

Syarat Menjadi Satria Jawa


Sebagai laki-laki Jawa, beberapa hal perlu saya ketahui apakah saya telah menjadi laki-laki yang dapat disebut sebagai seorang satria jawa atau belum. Tentu saja saya ingin menjadi satria yaitu satria utama yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, kebudayaan dan berbudi pekerti akhlakulkarimah. Ada lima syarat menjadi satria yang telah digariskan para ksatria Jawa terdahulu mudah-mudahan kita bisa meraihnya;

Pertama, Wisma (Rumah), sebagaimana fungsinya sebagai tempat tinggal, tempat kembali, tempat sekolah anak-anak sebelum memasuki sekolah formal, tempat istirahat, tempat berlindung dan sekaligus surga dunia. Rumah disini bukan sekedar alamat. Keberadaan rumah bagi seorang laki-laki jawa adalah sebuah nilai yang menimbulkan kepercayaan diri dan menunjukkan identitas. Tentunya dalam konteks ini rumah tidak diukur dari besar kecilnya atau kemewahannya tetapi diukur dari bagaimana rumah benar-benar dapat mewujudkan surga didalamya. Laki-laki tanpa rumah bisa jadi adalah gelandangan, sehingga satria mewajibkan dirinya memiliki rumah (wisma).


Kedua, Wanita, adalah lambang kesuburan, penghidupan dan kehidupan, kemakmuran serta kesejahteraan, seorang satria harus memandang wanita sebagai sumbu pada semua, di mana kehidupan dan penghidupan berasal. Wanita dalam konteks ini adalah istri yang dalam bahasa jawa disebut garwo (sigaraning nyawa) belahan jiwa. Laki-laki jawa dalam memilih istri sering memperhatikan spesifikasi yang disandarkan pada bobot, bibit dan bebet wanita tersebut. Sehingga akan diperoleh wanita yang tidak saja cantik fisiknya tetapi memiliki keunggulan agama, ilmu, budi dan kecantikan non fisik lainnya, wanita yang jelas asal-usulnya dan bisa diajak sugih dan tabah ketika ketiban mlarat. Kenapa demikian, karena wanita sebagai istri adalah teman, inspirasi, motivasi, sekolah yang akan melahirkan generasi terbaik yaitu anak-anak kita. Wanita utama atau lazim disebut wanita shalihah akan menjadi kebanggaan dan nilai seorang laki-laki.


Ketiga, Turangga (Kuda), adalah kendaraan yang vital sejak zaman dulu. Kendaraan mengantarkan kemana kita mau. Turangga saat ini dapat berupa BMX, Polygon, Honda Revo, Suzuki Smash, Kawasaki Ninja, Toyota Innova, Isuzu Panther, Nissan Livina dan masih banyak lagi. Namun lebih dalam arti kendaraan adalah ilmu pengetahuan, keterampilan, keahlian dan kemajuan tehnologi. Karena ilmu pengetahuan kita bisa melangkah lebih jauh dan luas dalam pengelihatan. Karenanya kendaraan juga dapat berupa visi dan misi kita. Satria istimewa selalu memilih dan memiliki visi, misi dan pengetahuan yang luas sebagai kendaraannya.


Keempat, Kukila (Burung), Dalam beberapa pendapat, burung dumaksud adalah burung yang selalu ikut pergi kemana empunya pergi. Burung yang tidak punya sayap tapi punya telur abadi. Tetapi saya cenderung pada pendapat yang mengartikan kukila (burung) sebagai lambang klangenan atau hobi. Burung yang memiliki keindahan bulu, kicauan, atau anggungan yang memberi kepuasan pemiliknya. Seseorang tanpa klangenan akan kering hidupnya. Ia tak dapat sepenuhnya merasakan kepuasan batin pribadi. Sementara, kepuasan batin pribadi hasil dari hobi tersebut dapat, memberi motivasi sehingga kita akan menjalani hidup dengan semangat dan cerah. Selanjutnya klangenan saat ini berkembang tidak saja pada kukila tetapi pada hal lain yang positif yang memberikan kepuasan batin.


Kelima, Curiga (Keris), sebagai simbol kewaspadaan, kesiagaan kedigdayaan dan keperwiraan. Keris sejatinya bukan senjata utama dalam peperangan atau melawan musuh, oleh karenanya keris dalam berpakaian keseharian diselipkan di belakang bukan di depan. Keris lebih memiliki makna sebagai sebuah piandel yang meningkatkan kepercayaan diri pemakainya. Piandel, tentu tidak saja berupa keris, tetapi juga berupa kedigdayaan atau ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini piandel digunakan dalam menghadapi masalah yang menjadi “musuhnya”. Sebagai orang beriman tentu saja tetap menyandarkan pada keimanan terhadap Gusti Alloh. Curiga sebagai syarat terakhir seorang ksatria harus dimiliki karena ini merupakan alat untuk mempertahankan empat hal sebelumnya agar tidak binasa. Jika yang kelima ini tak ada maka hancurlah yang keempatnya.

(sumber; bumi manusia, heritage of java, dan sumber lainnya)

Selasa, 15 Desember 2009

Mari Mendengar

Tuhan menciptakan manusia dengan melengkapinya 2 daun dan lubang telinga. Tentunya dengan dukungan hardware dan software yang super canggih karena pembuatnya adalah yang Maha Canggih. Keberadaan dua daun telinga di kiri dan kanan sepasang dan simetris menambah tampilan indah secara estetika. Meskipun Tuhan kadang menciptakan yang dikecualikan, tetapi tetap indah dan cantik.subhanalloh.

Kuping, demikian orang jawa manamai alat untuk mendengar ini. Kuping itu kaku njepiping. Kalo nggak kaku dan njepiping jangan-jangan bukan telinga manusia, bisa jadi telinga domba. Masyarakat jawa tertentu mempercayai bahwa untuk mendeteksi seorang yang sakit masih ada nyawa atau tidak dengan menekuk kuping si sakit kedalam, jika segera kembali ke posisi semula, berarti masih bernyawa, tetapi jika kuping lemes atau layu maka siapkanlah keluarga untuk tabah dan tawakal. Sampai tulisan ini saya pastikan anda menekuk kuping anda, padahal saya yakin secara medis maupun secara agamis kepercayaan ini sulit dijelaskan.

Kembali pada fungsi kuping atau telinga kita untuk mendengar. Kita sering susah mendengar, meski dua telinga kita berfungsi normal. Mungkin karena suasana bising, suara yang kurang jelas, intonasi kurang tegas atau gangguan kesehatan yang menurunkan daya dengar telinga kita.

Tetapi dari alasan yang paling berbahaya adalah ketika, telinga kita tidak mendengar karena saraf kita secara sadar memerintahkan perangkat kuping kita untuk tidak mendengar. Bungen Tuwo, Mlebu tengen metu kiwo (masuk kanan keluar kiri). Barangkali itu yang menginspirasi bimbo membuat dan menyanyikan lagu BERMATA TAPI TAK MELIHAT, BERTELINGA TAPI TAK MENDENGAR..."

Al Quran sebagai literatur tertinggi muslim menyuruh untuk "Kami dengar dan kami taat" (qs:2:285) khususnya untuk perintah tauhid dan kebajikan. Karenanya Tuhan membuat telinga kita lebih banyak daripada mulut kita, 2:1. agar kita lebih banyak mendengar kebaikan dan kebajikan tetapi sedikit memberi komentar.

Mendengarkan dengan baik banyak mendatangkan manfaat. Tambah ilmu, jelas, dihormati lawan bicara, juga pereda kemarahan. Untuk yang terakhir anda bisa praktekkan dengan pasangan anda, bos anda, atau siapa saja yang sedang marah. Ketika dia sedang marah dan ngomel sejadi-jadinya maka sebaiknya anda menjadi pendengar yang baik, jangan kasih komentar, bantah palagi berdebat. Anda cukup mendengarkan. Paling lama orang ngomel 30 menit akan capek dengan sendirinya sedangkan anda yang mendengarkan tentu belum pegel (kecuali anda dimarahi didepan umum). Pun ketika anda, sedang mendengarkan cerita anak kecil, meskipun anda tahu akhir cerita anak itu tetaplah anda mendengarkan dengan baik. Pasti ia akan senang, satu lagi manfaat mendengarkan. Membuat orang lain senang. Bukankah ibadah dapat dilakukan dengan membuat orang lain bahagia?

Kita sebagai pemimpin, mungkin pemimpin atas diri kita, pemimpin atas keluarga kita, pemimpin di tempat kerja, pemimpin lingkungan, pemimpin suatu masyarakat, pemimpin bangsa juga dituntut banyak mendengar. Menjadi pendengar yang baik, pendengar yang sami’na waatha’na agar kita menjadi pemimpin yang amanah, agar ringan pertanggungjawaban ketika kelak di padang mahsyar.

Mari kita mulai menjadi pendengar yang baik, agar banyak ilmu yang terserap, agar orang lain senang, dan agar kemarahan akan reda. Kita manfaatkan kuping kita yang elok, lebih dari sekedar hiasan atau imitasi. Bismillah….

Jumat, 04 Desember 2009

Bahagiakan Anak-Anak Anda, Dengan Tertawa Bersamanya.

Manusia dewasa sering terjebak dalam keadaan yang serius dan rumit. padahal sebenarnya hal itu bukan sesuatu yang penting dan hakiki untuk kebutuhannya.

Begitupun kita, sering sibuk namun tak jelas hasilnya, apalagi tujuannya. Tubuh menjadi letih tanpa produktivitas yang jelas. Hal ini mungkin banyak dialami orang-orang dewasa yang hidup diabad modern ini dan khususnya yang tinggal dikota-kota.

Kondisi ini menjadi lebih parah ketika banyak keluarga yang suami istri harus bekerja di luar rumah. Anak-anak terpisah lebih dari 12 jam sehari dengan kedua orang tuanya. Pun saya yang memiliki istri bekerja mengalami hal yang sama.

Saya sering merasa berdosa terhadap anak-anak. Mereka seperti menjadi "yatim" ketika ibu bapaknya masih sehat. Mereka seperti"sebatang kara" disaat ibu bapaknya masih hidup didunia. Betapa tidak, pagi hari saya dan istri berangkat bekerja hingga pulang sore menjelang maghrib, kadang malah selepas maghrib masih di perjalanan. Anak-anak hanya ditinggal bersama pengasuhnya, dan yang sudah sekolah "dititipkan" pada sekolah fullday.

Hal yang bisa saya lakukan untuk mengurangi rasa berdosa adalah meneleponya sewaktu anak-anak sudah dirumah, meski hanya menyapa dan menanya kesibukannya, tentang makanan, hapalan mengaji, pr kumon atau bagaimana tidur siangnya. Ternyata anak-anak merasa senang dengan di telpon. Kedua yang dapat dilakukan adalah menemaninya belajar dimalam hari, bermain dengan si kecil sebelum dia tertidur. Atau kadang menyempatkan keluar rumah sekedar ke "alfa" untuk beli roti tawar bekal sekolah besok, atau mengisi bensin di pompa bensin dekat rumah. Rasanya mereka sudah bahagia dan buat saya, rasa bersalah yang ada sedikit terobati.

Hal lain yang menjadi wahana "pertobatan" untuk menghilangkan rasa bersalah pada anak-anak adalah menjadikan hari sabtu dan minggu sebagai hari kebersamaan. Saya dan istri sepakat untuk mengalokasikan waktu sabtu dan minggu untuk anak-anak. Sebisa mungkin saya dan istri menghindari kegiata lembur atau kegiatan diluar rumah yang harus meninggalkan anak-anak. Kalaupun ada kegiatan sosial kemasyarakatan biasanya saya tetap mengajak anak-anak, seperti arisan keluarga, kerja bakti dan kegiatan yang lain yang memungkinkan anak-anak ikut.

Ternyata dengan langkah-langkah itu selain anak bahagia, dan rasa bersalah terobati saya dan istri cenderung dapat menghindari stres karena pekerjaan atau karena kondisi rutinitas di jalan yang membosankan. Bergaul dengan anak-anak akan membuat kita semakin banyak tertawa.

Saya menjadi teringat tulisan di detikhealt beberapa waktu lalu bahwa Anak-anak bisa tertawa 300 kali dalam sehari dan orang dewasa hanya 15 kali. Anak-anak bisa tertawa dengan melihat sesuatu yang menarik mata sementara orang dewasa melihat dunia menjadi sangat serius.

Dari sini saya menjadi sangat terinspirasi diketerbatasan waktu kita bersama anak-anak, mari tetap bahagiakan anak-anak anda, meski hanya dengan tertawa.

Jumat, 21 Agustus 2009

Hasil Mendengarkan Amanat Pak Sur


Tulisan ini disarikan dari sambutan Pak Suryanto dalam rangka pengambilan sumpah PNS di pendopo jalan prapatan.

Ini adalah sumpah anda yang pertama menjadi pegawai negeri sipil semoga akan tertanam dalam jiwa anda. Saya yakin anda mengucapkan sumpah dengan sungguh-sungguh. Sumpah yang diucapkan dengan sungguh-sungguh akan bergetar dalam hati, dan bisa terus diingat.

Kalimat akhir dalam sumpah yang tadi dibacakan adalah “bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat..”. Kalimat ini mengandung muatan motivasi kepada kita semua untuk bekerja dengan baik. Kalimat ini sangat sejalan dengan 8 etos kerja yang disampaikan Jansen Sinamo.

Anda direkrut sebagai pegawai DJKN hendaknya mempunyai motivasi yang sejalan dengan sumpah tadi. Mengutip salah satu 8 etos kerja dari Jansen Sinamo, bahwa bekerja adalah ibadah. Jadikan pekerjaan kita ini sebagai ibadah. Oleh karena itu ada ungkapan “ dengan bekerja Tuhan menjadi nyata”. Karena dengan bekerja Tuhan akan memberi kita banyak hal, gaji, penghasilan dan dengan penghasilan kita bisa membeli makan, mendapatkan rumah, motor, mobil dan kebutuhan kita lainnya.

DJKN dalam menjalankan reformasi ini juga menuntut pegawainya untuk menjalankan 3 S ; Senyum, Sapa dan Sopan. Senyum, kenapa bukan muram, karena menurut para ahli senyum hanya membutuhkan 6 syaraf aktif kita sedangkan untuk muram kita membutuhkan 72 syaraf untuk melakukannya. Kesadaran ini harus tertanam untuk kita semua.

Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan menuntut kita untuk bekerja keras. DJKN yang sedang melakukan reorganisasi sekaligus juga harus menjalankan tupoksi yang diemban. Ibarat rumah tangga dalam waktu yang sama kita dituntut untuk membangun rumah sekaligus mantu, ini sangat berat tetapi harus dijalankan.

Sebagaimana kita tahu tugas utama Menteri Keuangan Sebagai BUN adalah mengumpulkan pendapatan, membelanjakan, dan mengawasi serta mengelola setiap sen yang telah dibelanjakan, dan yang terakhir tadi adalah tugas DJKN.

Oleh karenanya anda sebagai bagian organisasi ini harus bekerja semangat sebagaimana motivasi dalam sumpah yang tadi Saudara ucapkan.

Selasa, 18 Agustus 2009

Kamis, 13 Agustus 2009

Ibu, untukmu aku bernyanyi...

Ibu

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh

Lewati rintang untuk aku anakmu

Ibuku sayang masih terus berjalan

Walau tapak kaki, penuh darah… penuh nanah

Seperti udara… kasih yang engkau berikan

Tak mampu ku membalas…ibu…ibu

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu

Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu

Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku

Dengan apa membalas…ibu…ibu….

Iwan Fals





KERAMAT


Hai Manusia

Hormati Ibumu

Yang Melahirkan dan Membesarkanmu
Darah Dagingmu Dari Air Susunya
Jiwa Ragamu Dari Kasih-sayangnya
Dialah Manusia Satu-satunya

Yang Menyayangimu Tanpa Ada Batasnya
Doa Ibumu Dikabulkan Tuhan
dan
Kutukannya Jadi Kenyataan

Ridla Ilahi Karena Ridlanya
Murka Ilahi Karena Murkanya

Bila Kau Sayang Pada Kekasih

Lebih Sayanglah Pada Ibumu
Bila Kau Patuh Pada Rajamu

Lebih Patuhlah Pada Ibumu

Bukannya Gunung Tempat Kau Meminta

Bukan Lautan Tempat Kau Memuja

Bukan Pula Dukun Tempat Kau Menghiba

Bukan Kuburan Tempat Memohon Doa

Tiada
Keramat Yang Ampuh Di Dunia
Selain Dari Doa Ibumu Jua
Rhoma Irama



Jumat, 19 Juni 2009

KEINDAHAN TAK BERTEPI

KEINDAHAN TAK BERTEPI

(Perjalanan Indah Oktober 2008)


Semangatku untuk ke Makassar Sulawesi sangat tinggi, selain aku belum pernah ke kota itu, betapa aku dari kecil hanya mendengar Makassar dan Sulawesi dari guru-guru sejarahku. Yang aku tangkap kala itu betapa Sulawesi adalah negeri para pemberani, tempat lahir raja-raja perkasa di darat dan di samudera. Asal tokoh-tokoh bangsa dan selebriti yang masyhur di seluruh pelosok negeri dari Kahhar Muzakkar sampai Habibi, dari Jusuf Kalla sampai Saparudin KDI. Semua itu yang membuat aku bersemangat berangkat ke Makassar, tentu sambil membayang indahnya Pantai Losari.

Ups... kaget campur kecewa saat aku baca surat tugasku bahwa tim bukan melaksanakn tugas di Makassar melainkan di Luwu (tahu tidak???). Aku ingin mengundurkan diri dari tugas penilaian menjelang keberangkatan. Namun sudah terlambat, surat tugas telah dibuat, dan rasanya aku tak pantas untuk mundur dari tugas ini. Maju terus ... meski dalam hati ada rasa tak puas. Setidaknya ada harapan, aku bisa jalan-jalan ke Tana Toraja, mungkin?


Senin Pagi, 13 Oktober 2008

”Mohon perhatian, penumpang Lion Air denga nomor penerbangan .... jurusan Ujung Pandang, pesawat anda mengalami gangguan tehnis, mohon maaf penerbangan anda mengalami keterlambatan selama 45 menit, menunggu pesawat dari palembang.....”

Gini nih kalo pesawat gak pake finger print dan gak ada penalti kalo terlambat, gangguan teknis, cuaca, nunggu pesawat dari mana, nganter istri (eh itu alasan punya kita mi..) yang buat ngeles kalo terlambat.

Dua belas laskar jihad eh petugas penilai saling mengumpat., Bagaimana tidak, dibelain berangkat pagi2, gak pake sarapan lagi, eh dah sampe ruang tunggu dibilang terlambat. Untung ada lontong yang pagi tadi aku bawa dari Jurang Mangu. Terpaksa diruang tunggu bandara internasional kita makan lontong tradisional. Subhanallah...

”.... Penumpang Lion air penerbangan ini bersama saya, David sebagai kapten pilot dan Marwoto (itu mah pilot garuda) sebagai co pilot saat ini kita terbang pada ketinggian 30.000 kaki diatas permukaan laut, sesaat lagi kita akan mendarat di bandar udara Sultan Hasannudin Makassar, terdapat perbedaan waktu 1 jam antara Makassar dan Jakarta .... bla , bla....



Sultan Hasanuddin International Airport, 13 Oktober 08, 16.20 WITA

Puji Tuhan, pesawat mendarat di Makassar dengan selamat (karena lagi musim lebaran jadi dengan selamat lebaran to...). Sampai di pintu keluar kita dah dijemput oleh pejabat Kanwil Makassar. Awalnya kami GR betapa tidak kami dijemput oleh hampir semua pejabat eselon III di Kanwil Makassar, barangkali pak Dirjen kalah, penjemputnya tentu tidak sebanyak ini. Kalo menteri yang datang baru pantas dijemput begini, gumam kami.

Ternyata, pupus sudah keGRan kami, betapa kami seperti TKI yang lima tahun tak pulang dari Saudi. Kami tak seperti dijemput pejabat, jangankan jamuan, basa-basi untuk tanya hal remeh-temeh saja tak sempat. Apalagi pembekalan atau breafing seperti yang kami bayangkan sebelumnya. Kami ditarik-tarik, oleh masing-masing penjemput, suasana kacau, persis terminal Pulo Gadung saat kedatangan bus-bus sumatera pasca mudik. Kami yang baru saja turun dengan rasa masing-masing, lapar, pusing, mabok udara dll langsung diangkut oleh koordinator. Kami berduabelas akhirnya tercerai berai. Selamat berjuang kawan....

****

Pak Djufron, koordinator kami. ”Malam ini kita ke Luwu” begitu beliau membuka pembicaraan, kami hanya melongo.. truss.. ”tapi kita transit dulu untuk mandi dan sejenak istirahat di hotel karena bus baru jam 10 malam nanti berangkat” beliau menyampaikan datar-datar saja, namun pikiran kami bertiga (tim kami dari jakarta terdiri dari tiga anggota Joko, Teguh dan aku) tak mampu datar menerimanya. Kok jadi begini.

Sesampai dihotel, kami masuk kamar, setelah berbasa basi sedikit dan menyerahkan uang sangu kita, Pak Jufron mohon diri. ”Saya nanti samperin kalian disini jam sepuluh dengan bus malam, tolong siap-siap ya....

Pak Jufron keluar, kami bertiga diskusikan tentang surat tugas, lingkup penilaian, SE-04, kota tujuan dll. Diskusi berakhir dan tak berkesimpulan, akhirnya kami memutuskan makan adalah solusi terbaik sementara ini. Cotto makassar dan ikang bakar menu pertama kami. Luar biasa nikmatnya... (Daeng Tata Casablangka ... lewat).

Pak Mahdi kasi penilaian menghampiri kami dihotel atas telephon Joko, alhamdulillah batinku Gusti Alloh mulai mengirim bantuan. Banyak hal kami tanya ke beliau, banyak hal kami dapat dari beliau dari mulai informasi tempat, no hp pegawai Palopo, SE-04 dll. Kebingungan kami semakin berkurang apalagi orang BPKP telah ikut bergabung. (meski belakangan nyerah soal inventarisasi, lah....)

Jam 10 malam waktu makassar bus tiba, kami berangkat ke mana entah.. selain Tuhan, hanya supir bus dan pak Djufron mungkin yang tahu perjalanan malam ini. Untuk mengurangi stress aku bertanya penumpang disebelahku, mana tujuan akhir bus ini? Palopo jawabnya (Luwu sebelah mananya? Tapi tak kulanjutkan dengan pertanyaan itu) ”jam berapa kita sampai sana?” Jam empat subuh mas.. Terima kasih jawabku... dalam hati aku berbisik Mudah-mudahan Alloh mempermudah perjalanan ini.


Belopa, 14 Oktober 2008, 04:00

Belopa sampe ki,di... begitu teriak supir... ditengah senyap pagi ini, mataku masih males melek. Pak Djufron dan orang BPKP (belakangan kami tahu namanya pak Sumaryanto asli sulawesi... (aneh namanya, dalam hatiku) telah berdiri dan mengangkat tas masing-masing, kami bertiga masih setengah tidur. Aku yang bangun pertama bangkit, kupanggil Joko dan Teguh, mereka gelagapan. Kondektur berteriak agar kami segera turun tapi kami tak tahu karena ia pake bahasa ibunya. Dengan kesadaran setengah, kugendong semua perbekalanku turun, mudah-mudahan tak ada yang tertinggal. Mungkin gini rasanya kalo malam-malam dibangunin istri mau melahirkan (mudah-mudahan aku tidak).

Turun dari bis, tak banyak komando, Pak Jufron dan pak Maryanto telah jauh berjalan di depan, kami langsung ikuti dengan langkah sempoyongan layaknya habis minum autan. Kami berjalan menuju hotel (penginapan aja lah) terdekat. Wisma Karmila, akhirnya tempat kami singgah.

Karmila, nama yang elok tapi tak secantik lagunya kang Harry Rusli alm., aku kebagian kamar 07 (coba tambah satu nol di depan kan jadi James Bond). Pas masuk kamar, aku dan Teguh saling berpandangan (jangan ngeres dulu..) kami sama-sama tertegun, kamar apa ini.. abu rokok, dua tempat tidur kecil denga seprei kusut, kamar mandi kotor, bekas pembalut, gak ada AC, nyamuk dimana-mana, aku setengah merinding... ”Ini hotel apa sarang walet”, Teguh tak habis-habisnya mengeluarkan sumpah serapah seperti anak SD baca UUD, Dibolan-baleni.

Jam 4:15 pagi, badanku capek sekali, aku tiduran di pojok tempat tidur, ada perasaan jijik, aku hanya berharap mudah-mudahan kulitku tak gatal-gatal alergi (maklum kulit sensitif). Lain dengan Teguh ia mengalasi tidurnya dengan koran yang krusek-krusek bikin tambah tak bisa tidur. Kami tak bisa tidur, kepalaku pusing, jam 7 aku ke kamar Joko untuk mandi, kamar ini jauh lebih bagus, ada AC, dan kamar mandi bersih, layak disebut Hotel.

Duh Gusti, matur nembah nuwun atas welas asih Panjenengan....

Mudah-mudahan setelah kesulitan kecil ini ada kemudahan, sebagaimana janji-Mu dalam alam nasyroh subuh tadi.


Belopa, Sulli dan Larompong... 14 Oktober 2008

Kami memulai tugas penilaian dan inventarisasi dengan terlebih dahulu ke Kantor Polres Luwu di Belopa, kemudian dan dilanjutkan ke Polsek-Polsek sekitar. Polsek Belopa, Polsek Suli dan Polsek Larompong hari itu juga.

Belopa City kota kecil yang sedang berbenah menjadi ibukota kabupaten Luwu setelah pemerakan 2005 silam. Aku menggambarkan pada temanku seperti kota Kebumen 29 tahun yang lalu. Meski dilintasi trans sulawesi poros Paloppo – Makassar tapi tak terlalu banyak kendaraan lalu lalang. Udara yang segar dipagi hari dan panas terik di siang hari. Sawah dan rumah sederhana masih ada ditengah kota. Malamnya sepi tak banyak hiburan, untung program KB pernah disosialisaikan sehingga ibu-ibu tak banyak jadi korban.

Hal yang mencolok disini soal selera kekinian, banyak anak-anak sekolah yang pake HP berharga diatas 2 jutaan sekelas N73. Lebih kaget lagi saat kulihat ibu-ibu ngerumpi dengan komunikatornya yang kecil, dan anak kecil bermain N90. Ironisnya disini tak ada warnet meskipun ABG-ABGnya telah pakai celana ketat macam Bunga Citra Lestari atau potongan rambut mirip Ian Kasela.

Kota yang indah sebenarnya, masyarakatnya terbuka, damai dan belum semerawut seperti kota-kota di Jawa. Satu hal yang aku perhatikan disini khususnya di warung makan. Pelayan tak terlalu peduli dengan pesanan pengunjung. Jadi siap-siap pesen teh panas jadi teh anget, saking lamanya.

Sulli kota kecamatan terdekat dengan ibukota Luwu, Belopa. Terhampr sawah-sawah subur dan tanah-tanah kosong yang luas. Tak ada Photo Copy di kota ini kalo dah jam 5 sore. Larompong hampir sama, kota kecamatan yang dilintasi trans sulawesi poros Paloppo – Makassar, sangat indah dikitari bukit yang indah, lukisan Allah sang empunya singgasana Indah.

Padang Sappa dan Buah Ponrang, 15 – 16 Oktober 2008

Hari kedua di kabupaten Luwu, ekspedisi kami hari ini adalah ke Bupon dan ke Bua. Polsek Bupon berada di desa Padang Sappa, kawasan yang terdiri dari bukit-bukit, dataran sawah dan tambak-tambak dipinggir pantai. Mak nyos panasnya saat kami berkunjung. Bupon, nama yang mengingatkan anda kiper andalan italia bukan? Begitulah, disini banyak penggila bola, tapi bukan karena itu kota ini diberi nama, tapi konon karena disini dulu banyak buah ponrang yang enak disingkat bu-pon maka jadilah namanya. (buah ponrang = nanas, red).

Sementara itu kota Bua berbatasan langsung dengan wilayah kotamadya Palopo. Yang ketika kami melintasi kami tak henti-hentinya takjub. Kami melewati sawah yang terhampar luas di kiri jalan dengan latar belakan bukit-bukit hijau dikejauhan sementara di kanan jalan, tambak yang berbatasan dengan hutan mangrove yang menghadap bibir teluk bone terlihat rapi. (keren apa cakep begitu anakku bertanya dalam telephon).

Tugas di luwu telah selesai, kini saatnya berpindah melanjutkan ekspedisi menuju Luwu Timur. Tahukah Luwu timur dimana? Kalau kita buka peta sulawesi maka ia berada di (maaf) selangkangan pulau sulawesi itu. Kawasan yang dulu jarang dijamah orang. Disanalah Danau Tawoti yang melegenda, dan disana pula para penambang nickel terbesar di dunia (PT. INCO) mencongkel gunung menggerus batu dengan perkasa yang hasilnya entah untuk siapa.

Luwu Timur terbentuk dari pemekaran Luwu Utara pada tahun 2005an. Ibukota Luwu Timur di sebuah kota kecil, Malili namanya. Perjalanan darat dari Makassar kurang lebih 12 jam.


Kami menuju Malili dari Belopa pada jam 8 pagi dengan kendaraan semi carteran Panther. Dari Belopa kami melewati Kota Palopo, yang menghadap teluk Bone. Sebelum memasuki kota palopo dari arah Belopa kami mengitari bukit hijau dan disebelah kanan kami nun jauh dibawah jurang teluk bone terlihat seperti kolam-kolam surga. Perahu-perahu nelayan keci terlihat seperti manik-manik hiasan kain para permaisuri, indah sekali.






Paloppo, mi.....


Kota Palopo tak terlalu besar, tetapi kota ini barangkali yang terbesar di wilayah Luwu. Mengingat kota ini merupakan ibukota kabupaten Luwu sebelum Luwu terceraiberai oleh pemekaran. Melihat beberapa bangunan yang ada, mungkin Palopo sejak jaman kerajaan Luwu dahulu telah ramai sebagai kota teluk.

Keluar wilayah kota Palopo kami memasuki wilayah kabupaten Luwu Utara yang beribukota di Masamba. Kota Masamba juga seperti kota lainnya yang mendadak ramai karena pemekaran. Bangunan baru dikiri kanan dan tower pemancar satelit alat komunikasi banyak terlihat.

Melewati Masamba, kami memasuki kembali kawasan hutan dan perkebunan. Disinilah kawasan para transmigran dibagi-bagi kavling tanah oleh pemerintah. Mungkin bahagia sekali mereka mendapatkan tanah disini yang luas seluas sepuluh kali bengkok Lurah. Betapa tidak, para transmigran berangkat kesini karena dikampungnya untuk satu meter saja harus berebut dengan Sudaranya yang entah berapa banyaknya baik yang masih hidup maupun yang baru saja mati. Kebun-kebun kakao yang menghampar luas, rumah-rumah panggung dari kayu yang dihiasi parabola berkelompok terlihat dikiri kanan. Dibelakangnya, bukit-bukit hijau sebagai latar belakang yang kekar menjulang merobek awan-awan.

Memasuki perbatasan Luwu Timur, pemandangan sedikit berbeda. Perkebunan Sawit milik PTPN dan petani plasma terhampar luas. Pohon-pohon sawit yang telah berproduksi berbaris rapi seperti polisi apel mau patroli. Pohon-pohon itu terus berbuah, tak peduli meski katanya, karena krisis global harga CPO turun tak terkendali, ”emang gue pikirin..”, begitu mungkin batin pohon sawit.

Sejauh mata memandang hamparan hijau, naik-turun, kanan-kiri, ribuan hektar pohon sawit, pohon-pohon kakao, rumah-rumah panggung yang tampak sederhana bukit-bukit indah di kejauhan. Mata kami terus dimanjakan pemandangan yang indah, lupa rasanya kami dengan Jakarta dan sekitarnya yang macet, panas-berdebu saat kemarau, banjir saat hujan dan kesemerawutan lainnya. Barangkali buatku hanya karena satu hal teringat dengan rumah, bidadari-bidadari kecil, anakku dan tentu saja ibunya. (andai saja aku tak punya NIP mungkin aku akan bertransmigrasi kesini, indahnya)

Sepanjang Jalan Belopa-Palopo-Masamba hingga ke perbatasan Luwu tak ada cerita jalan jelek, aspal yang mulus. Ini membuat perjalanan tak terasa jauh, selain karena pemandangan yang indah membuat mata tak penah bosan. Jalan-jalan yang bagus mungkin karena perawatan yang baik dan tak terlalu banyak kendaraan yang jauh melebihi kapasitasnya.

Satu hal yang terlewat, bahwa ternyata keindahan ini masih berada di Indonesia.


Malili di pinggir kali.



Jam 12.15 menit kami memasuki kota malili. Kota baru yang difungsikan sebagai pusat pemerintahan atau ibukota Kabupaten Luwu Timur kurang lebih satu kilometer sebelum memasuki kota Malili lama. Kota baru ini dibangun disebuah dataran seperti lembah bekas perkebunan sawit. Kegiatan dikota ini sudah mulai ramai seiring dengan dibukanya kantor-kantor pemerintahan. Dari jauh kota ini tampak unik, betapa tidak, ditengah hamparan lembah nan hijau bermunculan bangunan-bangunan baru berbagai warna.


Pada panas siang hari kami sampai di kota Malili lama. Kota dipinggir sungai, aku jadi teringat dengan ”Benteng Kuto Besak di Palembang”, mirip sekali. Meskipun sungainya tak selebar Musi, jembatan dan jalan disisi sungai membuat ingatanku jauh menyeberang ke kota Sriwijaya. Sungai yang airnya mengalir puluhan kilometer dari danau Tawoti, tetap jernih sampai ujung muara yang tepat menusuk teluk Bone.

Pusat kota ini hanya dua baris jalan raya masing-masing 300 meteran berada disisi sungai. Di siang hari jalan raya ramai oleh ojek Haji Hamid dan kendaraan canggih betuliskan ”INCO”, Mitsubishi Strada, Ford Ranger, Toyota Land Cruiser, atau minimal Kijang Innova itulah kendaraan para pemburu nickel dibelantara Tana Luwu. Di malam hari senyap tak terkira, jangankan motor, lalu lalang orang jalanpun tak ada, batasnya jam 21.00, tapi jangan takut disini aman mas, begitu kata Polisi.


Mangkutana dan Wonorejo

Hari kedua tugas di Luwu Timur, kami sampai di kota kecamatan Mangkutana. (kalo orang sulawesi seneng mangkutana kolo orang Jogja seneng mangku bumi? Tapi kayaknya enakan mangku cewek kata Djoko). Disini ada yang bernama Made Sidarta, Sarwono dan Supriyadi ada juga Pakambanan dari Toraja. Konon kota ini telah didiami penduduk luar sulawesi sejak sebelum Indonesia merdeka. Karenanya tadi banyak nama-nama orang yang kedengarannya bukan dari Sulawesi, begitupun nama desa Wonorejo, yang membuat kita ingat nama desa-desa di pedalaman Jawa.

Mangkutana, meskipun kotanya kecil tetapi cukup ramai, karena dikota ini dilewati bus-bus lintas Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Jalan Trans Sulawesi poros Palopo-Palu. Perjalanan dari Malili ke Mangkutana, kurang lebih 50 KM, perjalanan mengelilingi bukit, tak habis-habis kami memuji Tuhan atas keindahan pemandangan sepanjang jalan.


Kemewahan Sorowako dan keindahan Danau Matano

Karena tugas ini aku bisa melihat Sorowako, kota nickel. Dari kota inilah nickel dunia disuplai, karena memang penambangan nikel di Sorowako adalah yang terbesar di dunia. PT. INCO sebagai perusahan penambang melakukan penambangan siang dan malam, batu-batu yang mengandung nickel dikeluarkan dari perut gunung, bekas tanah galian diurukkan ke lembah maka kondisi akan berbalik setelah penambangan. Bagusnya, karena tuntutan dunia maka setelah selesai penambangan PT. INCO melakukan penghijauan kembali tanah-tanah bekas galian yang membukit, maka timbullah bukit-bukit baru pasca penambangan. Jalan-jalan di sini mulus teraspal hotmix, pengendara yang penuh disiplin mengendarai mobil-mobil mewah. Memasuki kawasan pabrik pengolahan nickel suasana menjadi sangat berbeda. Jika beberapa kilometer antara Sorowako dan Malili pemandangan dikiri kanan adalah hutan tropis yang rimbun, hijau, tetapi begitu mendekati pabrik terlihat ceobong asap pembakaran pabrik pemisah bijih nikel.

Disisi yang lain, kami juga mendapatkan gambaran keindahan yang luar biasa. Danau Matano, danau air tawar yang temasuk danau terdalam di dunia menyuguhkan keindahan yang luar biasa. Air yang jernih, hutan disekitar danau yang hijau menambah kesan danau ini seperti telaga di kahyangan milik para bidadari. Konon danau ini belum berubah ekosistemnya selama lebih dari 80 tahun. Danau inilah yang menjadi sumber air danau-danau lain disekitarnya dana mahalona dan danau Tawuti. Itulah kerananya ia diberi nama Matano ”Sang mata air”

Akhirnya Luwu timur dengan kenangan danau Tawuti dan danau Matano telah kami tinggalkan, keindahan alam ditengah kesunyian hutan dan jernihnya air danau matano membuat kita terlupa dengan hingar bingar dan kebisingan Jakarta.

Keindahan Yang Tak Bertepi.

Barangkali kita pernah melihat keindahan lukisan alam entah didinding atau dimana saja, entah lukisan maestro terkenal negeri ini atau lukisan seniman jalanan dari pinggiran Pasar Baru,indah bukan? Tapi tanpa bermaksud merendahkan karya seni mereka dan tanpa mengurangi keindahan lukisan itu, keindahan tana toraja, kami menyebutnya keindahan yang tak bertepi, tak berbingkai dan tak terbatas. Subhanallah...

Aku menyebutnya demikian. Betapa tidak, jika dalam lukisan-lukisan itu meski sang maesro tak bermaksud membatasi keindahan lukisan tetapi keterbatasan manusia harus mengakhiri keindahan suatu lukisan pada tepian bingkai atau garis-garis ruangan. Untuk keindahan yang ini tidak.

Sejak aku membuka mata pada pagi pertama di Tana Toraja aku melihat pahatan alam yang indah, gunung-gunung batu berdiri dengan kokoh, Lembah-lembah yang berhias Tongkonan, Sawah terhampar berterasering dengan pohon-pohon bambu dikiri kanan, berhias sinar matahari kekuningan, menakjubkan sekali, barangkali seperti inilah keindahan taman surga yang terlihat oleh Delisa dalam hapalan sholat Delisa (novel cipt. tere liye), indah tak terkira. Aku hanya bisa membatin subhanallah.

Hari itu juga kami menelusuri keindahan alam kota toraja. Semakin mendekat, keindahan alam semakin terlihat jelas, Gunung-gunung yang dipahat untuk makam-makam leluhur orang toraja menjulang, mirip city tower di bilangan Thamrin - Jakarta.


Orang Toraja menyimpan jasad leluhurnya di bukit-bukit, di dalam batu ditebing-tebing, didalam pohon besar, dan dibuat sedemikian indah kuburannya. Mereka berkeyakinan bahwa leluhurnya tak mati setelah melaksanakan tugasnya di dunia. Oleh karenanya dibuatlah pesta-pesta yang luar biasa dan kurban bermacam hewan pada acara kematian, karena keyakinan mereka bahwa leluhurnya akan bahagia di alam sana, dan yang ditinggalkan akan terus jaya sepanjang ia menghormati leluhurnya.




Orang-orang toraja senang berpesta untuk mengenan leluhurnya, sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Tuhannya bahwa ia dikaruniai keindahan dan kekayaan alam yang tak habis-habis.

Pelajaran Indah

Banyak hal yang kudapat dari perjalanan panjang ini. Salah satunya kesadaranku bahwa betapa Indonesia kaya. Keindahan yang tak bertepi, kekayaan alam yang melimpah, hasil hutan yang gemah ripah, penduduk yang ramah. Perjalanan ini menyisakan kenangan yang luar biasa.


**********

Terima kasih kawan, terima kasih semua.