Rabu, 18 April 2012

Ibu, Engkau Yang Tak Berakhir Dalam Hidup Kami



Minggu, 24 Maret 2012 pagi, ketika aku berpamitan untuk ke Jakarta dan mencium kedua pipimu adalah saat terkhir aku menyentuh kulit hidupmu. Karena pada Rabu malam Kamis tanggal 28 Maret, Alloh memanggilmu, dan kami berharap Alloh memanggilmu dengan panggilan sayang Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah.. Irji'ii ilaa robbiki roodhiyatammardhiyyah.. Fadhkhulii fii 'ibaadi.. Wadhkhulii jannatii.. "Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhoi-Nya. maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaku, dan masuklah ke dalam surga-Ku"..

- - - - - -

Hari-hari ketika aku mendapati kabar bahwa ibu tak lagi bisa makan sambil duduk dan mengalami kemerosotan kesehatan, aku dilanda perasaan takut yang luar biasa, tidak seperti biasanya. meski ibu telah mengalami pasang surut kesehatan sejak stroke 2008. Aku takut akan kehilanganmu, takut akan ditinggalkan, takut tak mendapatimu di depan pintu ketika aku pulang, takut tak bisa mencium tangan dan pipimu ketika aku pamit keluar rumah….. ketakutan yang egois. Tapi akhirnya Alloh menjawab ketakutanku pada malam engkau menghadap-Nya. Aku harus ikhlas karena Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Bagaimanapun kehilanganmu adalah hal besar dalam hidupku, karena aku begitu menyayangimu…

Seminggu sebelum meninggal, engkau ceritakan capaian-capaianmu semasa hidup, hal-hal yang telah kau lewati, engkau bilang pernah susah, pernah sengsara, pernah senang, pernah sehat dan sekarang merasa sudah kaya dengan anak-anak dan semuanya. pada penghujung ceritamu, engkau bilang bahwa akan segera berakhir masamu, “wis cukup, kayane wis arep rampung”. Kau ceritakan itu berulang saat kau minta aku memijit pungggungmu, saat aku rebahan disampingmu ditemani putriku kau ulang cerita itu.

Sejak sakit 2008, semangat untuk sembuhmu sangat tinggi, pengobatan kau jalani dengan optimis. Motivasi untuk masih ingin melihat anak-cucu dan tetap bisa mendampingi Bapak membuatmu ingin sehat. Motivasi penting lainnya untuk sembuh adalah agar suaramu pulih dan bisa tetap baca Al-quran. Rasa bersyukurmu atas sakit yang diderita juga motivasi luar biasa yang membuatmu tetap semangat. Sering kau ucap alhamdulillah bahwa stroke yang kau derita hanya berakibat pada kesusahan menelan, dan sedikit penurunan penglihatanmu. Dalam kesulitan tetap kau jalani tugas sebagai istri dan ibadah, bahkan puasa wajib kau tetap jalani dengan baik. Akhtivitas memasak, menyapu tetap mampu kau jalani hingga beberapa hari sebelum ajalmu menjemput. Bahkan beberapa jam sebelum nafas terkhirmu, dalam sakitmu yang payah, buang air tetap kau jalani di toilet rumah demi tak merepotkan keluarga, begitu alasanmu.

Aku selalu menangis setiap kau ulang ceritamu, kisah ketika engkau suapi aku diteras tetangga. Aku yang balita kala itu, mengingini lauk telur teman sebayaku yang juga sedang disuapi, dan ibu temanku tak tau kalau aku begitu mengingini telur itu, aku merengek pada ibu. Sambil menahan rasamu, engkau yang hanya mampu menyuapiku makan dengan lauk ikan asin membatin, ”Duh Gusti, hari ini anak-anakku hanya makan seperti ini mudah-mudahan besok mereka mampu makan lebih baik, jangankan sepotong lauk telur, mudah-mudahan kelak apapun mampu anak-anakku nikmati”. Maaf nak, hari ini ibumu hanya mampu menyuapimu lauk ikan asin. Dalam doamu, ada harapan yang menembus batas cita-citamu. Doamu terkabul kami anak-anakmu mampu mangan wareg nyandang rapet. Alhamdulillah dan matur nuwun buat panjenengan.

- - - - -

Sedikit beda dengan Bapak, aku jarang sekali berbeda pendapat dengan ibu, apalagi membantahnya. Sebagai ragil aku rasanya lebih dekat denganmu, aku selalu berusaha untuk membuatmu bahagia, namun sebagai anak pasti ada yang salah yang kulakukan meskipun tak kusengaja, belakangan aku selalu meminta maaf setiap aku berpamitan denganmu untuk balik lagi ke Jakarta dan jawabmu selalu sama, wis tak ngapuro kabeh, wong ra ono sing salah”, dan terkhir tanggal 24 Maret, Minggu pagi itu saat terkhir aku mencium tangan dan kedua pipimu. Ya Alloh ampuni hambamu, ampuni ibuku....

Ibu, kami ingin mikul duwur mendem jero, wujud pengabdian kami padamu baik semasa hidupmu atau sepeninggalanmu. Kami telah benar-benar lupa seluruh perbuatanmu yang tidak enak pada kami, kami hanya mampu mengingat belaian lembut tanganmu. Setiap kesempatan pulang menjengukmu rasanya ingin aku dibelaimu, walau sejujurnya kami sadar telah bukan anak-anak lagi.

Jika akhirnya engkau tak kesampaian berkunjung kerumahku, mudah-mudahan kelak kita dapat berjumpa,,, sungguh aku begitu rindu.... Tuhanku aku tak menangisi kepergiannya karena aku yakin Engkau akan muliakan ibuku,,, amien.

Lembut kukenang, kasihmu ibu
di dalam hati ku kini menanggung rindu
kau tabur kasih seumur masa
bergetar syahdu, ooh di dalam nadiku


Ibu engkau yang tak berakhir dalam hidupku, walau jasadmu telah luruh dikubur tanah, karena kami, putra-putrimu selalu berusaha dan mendoa agar amal baikmu tetap abadi.


Allahummaghfirlaha warhamha wa ‘afiha wa’fuanha.

” Semoga Allah mengampuninya, merahmatinya, memberikan keselamatan dan memaafkan kesalahannya.

“Allahummaghfirlii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa”


Tangerang Selatan, Maret 2012