Sambil nunggu boarding di CGK,
saya baca tulisan di RMOL tentang Bunuh Diri Massal Pers Indonesia Jilid II,
penulisanya Hersubeno Arief (3/12/2018). Ringkasnya, ditengah acara yang
dihadiri jutaan manusia di Ibukota, banyak media besar (cetak dan elektronik
yang tidak menjadikannya headline. Dimana menurut penulis (Hersubeno Arief),
pakem-pakem jurnalistik tidak diikuti seperti ; magnitude, kedekatan
(proximity), actual, impact, human interest dan keluarbiasaan yang menjadi
pegangan para wartawan di telantarkan begitu saja.
Selanjutnya penulis menduga
faktor adanya permainan para pemilik dan pengelola media yang berselingkuh
dengan penguasa, yang akan membahayakan eksistensi dan kehidupan media kedepan.
Selanjutnya penulis menyampaikan bahwa di tengah terus menurunnya pembaca media
cetak, tindakan itu semacam bunuh diri, dan
akan mempercepat kematian media cetak di Indonesia.
Itu analisis jurnistiknya
Hersubeno Arief, beda dengan saya. Saya berkhusnuzon dengan melihat bahwa media
sedang menggunakan logika udang. Yah logika yang dibangun seperti menyajikan
menu udang, dimana menu udang memiliki tiga kelompok orang yang akan bereaksi.
Pertama kelompok doyan udang, dua kelompok tidak suka udang dan ketiga kelompok
alergi udang.
Media Indonesia tahu persis bahwa
212 layaknya udang, ada yang suka, ada yang ngga suka bahkan ada yang alergi.
Faktanya, ada belasan juta manusia yang
berkumpul mengikuti acara reuni 212 (entah data pastinya-setidaknya lebih
banyak dari peserta poco-poco car free day). Fakta lainnya ada yang tidak suka
acara reuni 212, mereka tidak mendatangi, sengaja menghindari dengan keluar
dari Jakarta atau lainnya. Dan yang ketiga juga banyak orang yang matanya
merah, gelisah, tensi naik, sesak nafas bahkan baru mendengar kabar acara reuni
212 bakal di helat (saya menyebutnya dalam kelompok alergi). Buktinya sehari
sebelum acara 212 ada kelompok yang menolak keras, bahkan ada ibuk-ibuk yang
loncat-loncat pager balaikota, mungkin ini lebih dari sekedar indikasi alergi, Ada
juga bapak tua brewokan berbicara dengan nada tinggi meminta acara dibatalkan.
Ini semua fakta.
Maka dari itu mungkin, ini
hepotesis saya (tentu tidak terlalu ilmiah) bahwa media tidak menampilkan
berita-berita 212 karena takut pembaca kejang-kejang, sesak nafas, bahkan bisa
jadi berakhir dengan gagal jantung dan kematian. Khususnya buat sebagian orang
yang alergi dengan reuni 212.
Dan media paham siapa yang akan
alergi, pastinya bukan sekedar para pegawai honorer, pekerja harian, petani
pinggir kali, atau nelayan musiman yang tidak berdampak signifikan.
Akhirnya,
hikmah yang dapat diambil buat saya, berhenti baca koran/media yang mau bunuh
diri tadi.
Catatan :
Gambar diatas hanyalah pemanis.
Yang satu adalah keris dapur brojol, tangguh kamardikan, pamor melati rinonce, dan
gambar satu lagi itu ayam cemani khas Kedu. Keduanya tidak ada hubungan dengan
tulisan diatas, jangan dihubungkan dengan dunia klenik, jurnalistik apalagi
syirik.