Selasa, 29 Desember 2009

Syarat Menjadi Satria Jawa


Sebagai laki-laki Jawa, beberapa hal perlu saya ketahui apakah saya telah menjadi laki-laki yang dapat disebut sebagai seorang satria jawa atau belum. Tentu saja saya ingin menjadi satria yaitu satria utama yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, kebudayaan dan berbudi pekerti akhlakulkarimah. Ada lima syarat menjadi satria yang telah digariskan para ksatria Jawa terdahulu mudah-mudahan kita bisa meraihnya;

Pertama, Wisma (Rumah), sebagaimana fungsinya sebagai tempat tinggal, tempat kembali, tempat sekolah anak-anak sebelum memasuki sekolah formal, tempat istirahat, tempat berlindung dan sekaligus surga dunia. Rumah disini bukan sekedar alamat. Keberadaan rumah bagi seorang laki-laki jawa adalah sebuah nilai yang menimbulkan kepercayaan diri dan menunjukkan identitas. Tentunya dalam konteks ini rumah tidak diukur dari besar kecilnya atau kemewahannya tetapi diukur dari bagaimana rumah benar-benar dapat mewujudkan surga didalamya. Laki-laki tanpa rumah bisa jadi adalah gelandangan, sehingga satria mewajibkan dirinya memiliki rumah (wisma).


Kedua, Wanita, adalah lambang kesuburan, penghidupan dan kehidupan, kemakmuran serta kesejahteraan, seorang satria harus memandang wanita sebagai sumbu pada semua, di mana kehidupan dan penghidupan berasal. Wanita dalam konteks ini adalah istri yang dalam bahasa jawa disebut garwo (sigaraning nyawa) belahan jiwa. Laki-laki jawa dalam memilih istri sering memperhatikan spesifikasi yang disandarkan pada bobot, bibit dan bebet wanita tersebut. Sehingga akan diperoleh wanita yang tidak saja cantik fisiknya tetapi memiliki keunggulan agama, ilmu, budi dan kecantikan non fisik lainnya, wanita yang jelas asal-usulnya dan bisa diajak sugih dan tabah ketika ketiban mlarat. Kenapa demikian, karena wanita sebagai istri adalah teman, inspirasi, motivasi, sekolah yang akan melahirkan generasi terbaik yaitu anak-anak kita. Wanita utama atau lazim disebut wanita shalihah akan menjadi kebanggaan dan nilai seorang laki-laki.


Ketiga, Turangga (Kuda), adalah kendaraan yang vital sejak zaman dulu. Kendaraan mengantarkan kemana kita mau. Turangga saat ini dapat berupa BMX, Polygon, Honda Revo, Suzuki Smash, Kawasaki Ninja, Toyota Innova, Isuzu Panther, Nissan Livina dan masih banyak lagi. Namun lebih dalam arti kendaraan adalah ilmu pengetahuan, keterampilan, keahlian dan kemajuan tehnologi. Karena ilmu pengetahuan kita bisa melangkah lebih jauh dan luas dalam pengelihatan. Karenanya kendaraan juga dapat berupa visi dan misi kita. Satria istimewa selalu memilih dan memiliki visi, misi dan pengetahuan yang luas sebagai kendaraannya.


Keempat, Kukila (Burung), Dalam beberapa pendapat, burung dumaksud adalah burung yang selalu ikut pergi kemana empunya pergi. Burung yang tidak punya sayap tapi punya telur abadi. Tetapi saya cenderung pada pendapat yang mengartikan kukila (burung) sebagai lambang klangenan atau hobi. Burung yang memiliki keindahan bulu, kicauan, atau anggungan yang memberi kepuasan pemiliknya. Seseorang tanpa klangenan akan kering hidupnya. Ia tak dapat sepenuhnya merasakan kepuasan batin pribadi. Sementara, kepuasan batin pribadi hasil dari hobi tersebut dapat, memberi motivasi sehingga kita akan menjalani hidup dengan semangat dan cerah. Selanjutnya klangenan saat ini berkembang tidak saja pada kukila tetapi pada hal lain yang positif yang memberikan kepuasan batin.


Kelima, Curiga (Keris), sebagai simbol kewaspadaan, kesiagaan kedigdayaan dan keperwiraan. Keris sejatinya bukan senjata utama dalam peperangan atau melawan musuh, oleh karenanya keris dalam berpakaian keseharian diselipkan di belakang bukan di depan. Keris lebih memiliki makna sebagai sebuah piandel yang meningkatkan kepercayaan diri pemakainya. Piandel, tentu tidak saja berupa keris, tetapi juga berupa kedigdayaan atau ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini piandel digunakan dalam menghadapi masalah yang menjadi “musuhnya”. Sebagai orang beriman tentu saja tetap menyandarkan pada keimanan terhadap Gusti Alloh. Curiga sebagai syarat terakhir seorang ksatria harus dimiliki karena ini merupakan alat untuk mempertahankan empat hal sebelumnya agar tidak binasa. Jika yang kelima ini tak ada maka hancurlah yang keempatnya.

(sumber; bumi manusia, heritage of java, dan sumber lainnya)

Selasa, 15 Desember 2009

Mari Mendengar

Tuhan menciptakan manusia dengan melengkapinya 2 daun dan lubang telinga. Tentunya dengan dukungan hardware dan software yang super canggih karena pembuatnya adalah yang Maha Canggih. Keberadaan dua daun telinga di kiri dan kanan sepasang dan simetris menambah tampilan indah secara estetika. Meskipun Tuhan kadang menciptakan yang dikecualikan, tetapi tetap indah dan cantik.subhanalloh.

Kuping, demikian orang jawa manamai alat untuk mendengar ini. Kuping itu kaku njepiping. Kalo nggak kaku dan njepiping jangan-jangan bukan telinga manusia, bisa jadi telinga domba. Masyarakat jawa tertentu mempercayai bahwa untuk mendeteksi seorang yang sakit masih ada nyawa atau tidak dengan menekuk kuping si sakit kedalam, jika segera kembali ke posisi semula, berarti masih bernyawa, tetapi jika kuping lemes atau layu maka siapkanlah keluarga untuk tabah dan tawakal. Sampai tulisan ini saya pastikan anda menekuk kuping anda, padahal saya yakin secara medis maupun secara agamis kepercayaan ini sulit dijelaskan.

Kembali pada fungsi kuping atau telinga kita untuk mendengar. Kita sering susah mendengar, meski dua telinga kita berfungsi normal. Mungkin karena suasana bising, suara yang kurang jelas, intonasi kurang tegas atau gangguan kesehatan yang menurunkan daya dengar telinga kita.

Tetapi dari alasan yang paling berbahaya adalah ketika, telinga kita tidak mendengar karena saraf kita secara sadar memerintahkan perangkat kuping kita untuk tidak mendengar. Bungen Tuwo, Mlebu tengen metu kiwo (masuk kanan keluar kiri). Barangkali itu yang menginspirasi bimbo membuat dan menyanyikan lagu BERMATA TAPI TAK MELIHAT, BERTELINGA TAPI TAK MENDENGAR..."

Al Quran sebagai literatur tertinggi muslim menyuruh untuk "Kami dengar dan kami taat" (qs:2:285) khususnya untuk perintah tauhid dan kebajikan. Karenanya Tuhan membuat telinga kita lebih banyak daripada mulut kita, 2:1. agar kita lebih banyak mendengar kebaikan dan kebajikan tetapi sedikit memberi komentar.

Mendengarkan dengan baik banyak mendatangkan manfaat. Tambah ilmu, jelas, dihormati lawan bicara, juga pereda kemarahan. Untuk yang terakhir anda bisa praktekkan dengan pasangan anda, bos anda, atau siapa saja yang sedang marah. Ketika dia sedang marah dan ngomel sejadi-jadinya maka sebaiknya anda menjadi pendengar yang baik, jangan kasih komentar, bantah palagi berdebat. Anda cukup mendengarkan. Paling lama orang ngomel 30 menit akan capek dengan sendirinya sedangkan anda yang mendengarkan tentu belum pegel (kecuali anda dimarahi didepan umum). Pun ketika anda, sedang mendengarkan cerita anak kecil, meskipun anda tahu akhir cerita anak itu tetaplah anda mendengarkan dengan baik. Pasti ia akan senang, satu lagi manfaat mendengarkan. Membuat orang lain senang. Bukankah ibadah dapat dilakukan dengan membuat orang lain bahagia?

Kita sebagai pemimpin, mungkin pemimpin atas diri kita, pemimpin atas keluarga kita, pemimpin di tempat kerja, pemimpin lingkungan, pemimpin suatu masyarakat, pemimpin bangsa juga dituntut banyak mendengar. Menjadi pendengar yang baik, pendengar yang sami’na waatha’na agar kita menjadi pemimpin yang amanah, agar ringan pertanggungjawaban ketika kelak di padang mahsyar.

Mari kita mulai menjadi pendengar yang baik, agar banyak ilmu yang terserap, agar orang lain senang, dan agar kemarahan akan reda. Kita manfaatkan kuping kita yang elok, lebih dari sekedar hiasan atau imitasi. Bismillah….

Jumat, 04 Desember 2009

Bahagiakan Anak-Anak Anda, Dengan Tertawa Bersamanya.

Manusia dewasa sering terjebak dalam keadaan yang serius dan rumit. padahal sebenarnya hal itu bukan sesuatu yang penting dan hakiki untuk kebutuhannya.

Begitupun kita, sering sibuk namun tak jelas hasilnya, apalagi tujuannya. Tubuh menjadi letih tanpa produktivitas yang jelas. Hal ini mungkin banyak dialami orang-orang dewasa yang hidup diabad modern ini dan khususnya yang tinggal dikota-kota.

Kondisi ini menjadi lebih parah ketika banyak keluarga yang suami istri harus bekerja di luar rumah. Anak-anak terpisah lebih dari 12 jam sehari dengan kedua orang tuanya. Pun saya yang memiliki istri bekerja mengalami hal yang sama.

Saya sering merasa berdosa terhadap anak-anak. Mereka seperti menjadi "yatim" ketika ibu bapaknya masih sehat. Mereka seperti"sebatang kara" disaat ibu bapaknya masih hidup didunia. Betapa tidak, pagi hari saya dan istri berangkat bekerja hingga pulang sore menjelang maghrib, kadang malah selepas maghrib masih di perjalanan. Anak-anak hanya ditinggal bersama pengasuhnya, dan yang sudah sekolah "dititipkan" pada sekolah fullday.

Hal yang bisa saya lakukan untuk mengurangi rasa berdosa adalah meneleponya sewaktu anak-anak sudah dirumah, meski hanya menyapa dan menanya kesibukannya, tentang makanan, hapalan mengaji, pr kumon atau bagaimana tidur siangnya. Ternyata anak-anak merasa senang dengan di telpon. Kedua yang dapat dilakukan adalah menemaninya belajar dimalam hari, bermain dengan si kecil sebelum dia tertidur. Atau kadang menyempatkan keluar rumah sekedar ke "alfa" untuk beli roti tawar bekal sekolah besok, atau mengisi bensin di pompa bensin dekat rumah. Rasanya mereka sudah bahagia dan buat saya, rasa bersalah yang ada sedikit terobati.

Hal lain yang menjadi wahana "pertobatan" untuk menghilangkan rasa bersalah pada anak-anak adalah menjadikan hari sabtu dan minggu sebagai hari kebersamaan. Saya dan istri sepakat untuk mengalokasikan waktu sabtu dan minggu untuk anak-anak. Sebisa mungkin saya dan istri menghindari kegiata lembur atau kegiatan diluar rumah yang harus meninggalkan anak-anak. Kalaupun ada kegiatan sosial kemasyarakatan biasanya saya tetap mengajak anak-anak, seperti arisan keluarga, kerja bakti dan kegiatan yang lain yang memungkinkan anak-anak ikut.

Ternyata dengan langkah-langkah itu selain anak bahagia, dan rasa bersalah terobati saya dan istri cenderung dapat menghindari stres karena pekerjaan atau karena kondisi rutinitas di jalan yang membosankan. Bergaul dengan anak-anak akan membuat kita semakin banyak tertawa.

Saya menjadi teringat tulisan di detikhealt beberapa waktu lalu bahwa Anak-anak bisa tertawa 300 kali dalam sehari dan orang dewasa hanya 15 kali. Anak-anak bisa tertawa dengan melihat sesuatu yang menarik mata sementara orang dewasa melihat dunia menjadi sangat serius.

Dari sini saya menjadi sangat terinspirasi diketerbatasan waktu kita bersama anak-anak, mari tetap bahagiakan anak-anak anda, meski hanya dengan tertawa.