Ketika awal menikah dulu, kalo di
tanya orang, punya rencana berapa anaknya nanti? Aku menjawab Insya Alloh 7
(tujuh), dan istriku biasanya cuma mesem-mesem (mungkin) tanda setuju. Setahun
pernikahan istriku melahirkan putri kami pertama, lahir normal dan lancar. Anak
kami dibesarkan kami berdua, mertuaku dan adik kakak istriku, lengkap kan?
Lima tahun kemudian istriku hamil
lagi anak kedua. Kelahiran anak perempuan (lagi) kedua ini penuh sensasi baik
istri yang melahirkan maupun aku yang hanya menunggui prosesnya (diceritakan
dalam tulisan yang lain). Namun setidaknya kelahiran anak kami yang kedua ini
membuat berfikir ulang untuk punya anak 7 (tujuh). Pertama jarak anak satu dan
dua terlalu jauh, kedua perjuangan melahirkan anak kedua ternyata jauh lebih
sulit dan bikin degdegan.
Budaya jawa secara ga langsung sering
mengolok-olok pasangan suami istri yang belum dikaruniai putra alias anak
laki-laki. Tapi sebenarnya kami tidak terganggu dengan olok-olok semacam itu. Karena
memang dari awal kami tidak ada target punya anak dengan jenis kelamin
laki-laki atau perempuan, target kami hanya jumlah ; yakni punya anak 7
(tujuh), laki-laki atau perempuan Alhamdulillah.
Tidak lagi memperhatikan target,
istriku melahirkan anak ketiga pada tahun ke-9 perkawinan kami. Dengan jarak
kelahiran yang cukup jauh semakin sulit mencapai target mempunyai anak 7
(tujuh). Dan lagi, anak kami ketiga (putri lagi) dikeluarkan secara sesario
yang tentu saja membuat perutku ikut mules karena lama menunggu istri di ruang
operasi. Ditambah, hari kelima menghirup udara di luar anakku dinyatakan kuning
dengan tingkat yang mengkhawatirkan, ini membuat kami makin degdegan. Tapi
Alloh kasih kesempatan buat putri kami ketiga untuk bergabung bersama kami
sampai hari ini.
Praktis kami menjadi keluarga
bahagia dengan tiga bidadari yang cantik-cantik dan sehat, semoga shalihah
nantinya seperti munajat kami, robbij’alni
muqiimashsholah, maninzurriyyati.
Hingga suati saat istriku menjadi
galau, sepulang dinas luar aku rasan-rasan
dengan istriku “bagaimana kalo kita punya anak lagi?”. Entah ide itu dari mana,
asalnya aku hanya berfikir, sejak anak kami pertama minta masuk pesantren saat
smp nanti rasanya akan sepi rumah ini dengan (cuma) dua anak. Itu mungkin yang
mengilhami rasan-rasan itu. Tapi tidak demikian dengan istriku menanggapi,
entah karena lagi sensitive bulanan atau karena memang serius, dia mananggapi
kalo aku masih ingin punya anak laki-laki. Dan dia merasa gagal dengan tidak
dapat melahirkan anak laki-laki dari perkawinan ini, halahh dah kayak FTV aja
nih.
Penjelasan panjang lebar bisa
diterima istriku, intinya kita harus syukuri bahwa yang sudah dikasihkan ini
adalah karunia yang wajib di jaga. Tiga anak perempuan calon bidadari-bidadari,
yang semoga mampu menjadi jalan surga bagi ayah ibunya. Tiga anak perempuan
yang akan menjadi pewaris tahta keluarga dengan nantinya membangun
keluarga-keluarga taqwa (Insya Alloh).
Istriku, jangan pernah galau
dengan pemberian Tuhan ini. Tiga anak perempuan rasanya sudah menjadi nikmat
terbesar kita. Lagian aku juga bukan raja Mataram, yang harus mendapat anak
laki-laki dari garwo prameshwari. Karena sesungguhnya ada atau tidak ada anak
laki-laki, kerajaan kita akan kekal hingga kelak di surga, jika kita mampu
menjaga mitsaqon ghaliza ini.