Jumat, 20 Maret 2015

Lagian Aku Bukan Raja Mataram,

Ketika awal menikah dulu, kalo di tanya orang, punya rencana berapa anaknya nanti? Aku menjawab Insya Alloh 7 (tujuh), dan istriku biasanya cuma mesem-mesem (mungkin) tanda setuju. Setahun pernikahan istriku melahirkan putri kami pertama, lahir normal dan lancar. Anak kami dibesarkan kami berdua, mertuaku dan adik kakak istriku, lengkap kan?

Lima tahun kemudian istriku hamil lagi anak kedua. Kelahiran anak perempuan (lagi) kedua ini penuh sensasi baik istri yang melahirkan maupun aku yang hanya menunggui prosesnya (diceritakan dalam tulisan yang lain). Namun setidaknya kelahiran anak kami yang kedua ini membuat berfikir ulang untuk punya anak 7 (tujuh). Pertama jarak anak satu dan dua terlalu jauh, kedua perjuangan melahirkan anak kedua ternyata jauh lebih sulit dan bikin degdegan.

Budaya jawa secara ga langsung sering mengolok-olok pasangan suami istri yang belum dikaruniai putra alias anak laki-laki. Tapi sebenarnya kami tidak terganggu dengan olok-olok semacam itu. Karena memang dari awal kami tidak ada target punya anak dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, target kami hanya jumlah ; yakni punya anak 7 (tujuh), laki-laki atau perempuan Alhamdulillah.

Tidak lagi memperhatikan target, istriku melahirkan anak ketiga pada tahun ke-9 perkawinan kami. Dengan jarak kelahiran yang cukup jauh semakin sulit mencapai target mempunyai anak 7 (tujuh). Dan lagi, anak kami ketiga (putri lagi) dikeluarkan secara sesario yang tentu saja membuat perutku ikut mules karena lama menunggu istri di ruang operasi. Ditambah, hari kelima menghirup udara di luar anakku dinyatakan kuning dengan tingkat yang mengkhawatirkan, ini membuat kami makin degdegan. Tapi Alloh kasih kesempatan buat putri kami ketiga untuk bergabung bersama kami sampai hari ini.

Praktis kami menjadi keluarga bahagia dengan tiga bidadari yang cantik-cantik dan sehat, semoga shalihah nantinya seperti munajat kami, robbij’alni muqiimashsholah, maninzurriyyati.
Hingga suati saat istriku menjadi galau, sepulang dinas luar aku rasan-rasan  dengan istriku bagaimana kalo kita punya anak lagi?”. Entah ide itu dari mana, asalnya aku hanya berfikir, sejak anak kami pertama minta masuk pesantren saat smp nanti rasanya akan sepi rumah ini dengan (cuma) dua anak. Itu mungkin yang mengilhami rasan-rasan itu. Tapi tidak demikian dengan istriku menanggapi, entah karena lagi sensitive bulanan atau karena memang serius, dia mananggapi kalo aku masih ingin punya anak laki-laki. Dan dia merasa gagal dengan tidak dapat melahirkan anak laki-laki dari perkawinan ini, halahh dah kayak FTV aja nih.

Penjelasan panjang lebar bisa diterima istriku, intinya kita harus syukuri bahwa yang sudah dikasihkan ini adalah karunia yang wajib di jaga. Tiga anak perempuan calon bidadari-bidadari, yang semoga mampu menjadi jalan surga bagi ayah ibunya. Tiga anak perempuan yang akan menjadi pewaris tahta keluarga dengan nantinya membangun keluarga-keluarga taqwa (Insya Alloh).

Istriku, jangan pernah galau dengan pemberian Tuhan ini. Tiga anak perempuan rasanya sudah menjadi nikmat terbesar kita. Lagian aku juga bukan raja Mataram, yang harus mendapat anak laki-laki dari garwo prameshwari. Karena sesungguhnya ada atau tidak ada anak laki-laki, kerajaan kita akan kekal hingga kelak di surga, jika kita mampu menjaga mitsaqon ghaliza ini.