Jumat, 05 September 2014

Sampai Batas Persaingan


Sekolah lanjutan atas menjadi kisah-kasih anak-anak manusia, dramatis dan kadang ceritanya semelankolis kisah cinta fitri, atau penuh intrik layaknya kisah ganteng-ganteng serigala. Maka tak heran kalo Obbie Mesakh menyatakan kisah paling indah itu di sekolah. Tapi aku tidak sedang atau akan berkisah tentang kisah cinta atau persaingan penuh intrik di sekolah itu. Aku hanya ingin bernostalgia dengan secuil kenangan di penghujung perpisahan dengan empat temen sekolah dulu. Manusia yang Tuhan kirimkan untukku yang kemudian menjadi motivasi tersendiri dalam mengarungi hidup ini.

Soal prestasi jangan tanya, mungkin aku di urutan lima besar entah (lima belas) atau (dua puluh lima) malah, aku tak begitu peduli karena memang rasanya saat sekolah dulu perkembangan IQ-ku saat itu sudah maksimal. Berbeda dengan temenku yang satu ini, Dwi Haryanto, lulusan terbaik menjadi predikat sejak di TK. Meski latar belakangnya dari keluarga petani menengah semangatnya menjadi yang terbaik tersimpan apik seperti misteri gunung merapi. Potensinya tak pernah ditunjukkan pada siapapun kalo dia adalah calon lulusan terbaik di akhir studinya. Seperti dalam kisah film Rambo di awal masa sekolah prestasinya biasa saja, kalah dengan cewek-cewek kutu buku, tapi di akhir studi keadaan berbalik dia menjadi teratas prestasinya. (biasa jagoan kalah duluan - kira-kira begitu dia berargumen - atau memang moodnya baru dateng). Hanya sayang soal asmaranya kandas dan menjadi dendam yang tak terbalaskan.

Berbeda lagi dengan Saridin, pria lesu yang setiap pagi kutemui sejak kelas satu. Tidak pernah beranjak dari bangku baris dua dari belakang, menundukkan kepalanya terlelap tidur kecapekan, begitu pemandangan kesehariannya di kelas. Sejatinya dia adalah pria enterpreuner yang mandiri dan ulet. Jadi suatu ketika aku menemuinya dalam keadaan yang keren dan maknyos itu adalah sebuah hasil dari proses metamorfosis "laku" lesu beberapa tahun lalu. Tampang lesunya tak lepas karena menggowes sepeda yang sarat dengan muatan yang segera di tukar rupiah di pasar. (sampe tulisan ini di tulis aku belum dapet update kondisi beliau saat ini). Haryati nama cewek pujaannya, mungkin yang menjadi semangat hidupnya kala itu. Dalam pandangannya, Haryati seindah Aryati-nya Ismail Marzuki yang mengejawantah menjadi "mawar asuhan rembulan"
Semangatnya luar biasa, secara pribadi menginspirasiku bahkan sampai hari ini hampir dua puluh tahun.

Satu lagi Iskandar, murid pindahan dari Sekayu - Sumatera Selatan, sepatunya mengkilat, bajunya rapi, rambutnya klimis, tapi selalu terbata-bata melafalkan bahasa Jawa. Dan lidahnya seperti mau ketelen setiap dia ngobrol dengan cewek-cewek favorit di kelas semacam Sukarti atau Arini. Bajunya yang rapi merepresentasikan anak kota, yang ada bibit flamboyan di ujung senyumnya, tak ayal jika perempuan-perempuan blingsatan melihatnya entah nafsu atau risih melihat cara jalannya. Mungkin dia yang jadi sarjana pertama dari kelas kami. Meski prestasinya biasa, tapi semangatnya mendukung cita-citanya menjadi sarjana cepat tercapai. Orangnya baik (apalagi sama cewek) itu yang menjadikan ia semakin tenar dengan cewek-cewek temen sekolah meski sudah lulus kontaknya tak putus.

Pada penghujung, perpisahan dari sekolah itu, berempat saling menantang "ayo sugih-sugihan" selepas dari sekolah. Rasanya tantangan ini seperti jumawa dan arogan, tetapi dengan parameter "sugih" itu adalah berangkat haji, maka rasanya tantangan ini terukur dan mungkin. Entahlah sampai saat ini kita berempat belum pernah ketemu lagi, tapi rasanya tantangan ini masih berlaku sampai batas persaingan ini adalah siapa yang "sugih" duluan dengan berangkat haji.

Ya Alloh Gusti, jadikan persahabatan ini menambah cinta kami kepada Penjenengan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar