Selasa, 26 Agustus 2014

Dangdut, Campur Sari Musik Pinggiran?





Secara literature entahlah saya tidak sedang mengkajinya, tetapi saya pernah baca bahwa musik ini  lahir dari jelata. Bukan music yang lahir dari caffe atau bar-bar di sudut kota besar ditengah peradaban dunia. Tak ayal jika penikmat music ini sering di cibir sebagai sudra, kampungan, ndeso, norak atau kelas tiga-lah dalam dunia permusikan di Indonesia atau bahkan di dunia. Apa iya?


Tapi coba kita lihat kembali sahabat semua, kenapa sekarang banyak bule jadi sinden, banyak jepang yang trampil tang-tung jadi penabuh karawitan? 

Karena bisa jadi dandut, campursari merupakan transformasi dari gending-gending langgam jawa yang bersentuhan dengan dunia modern. Oleh karena itu artinya music ini lahir dari sebuah budaya dalem beteng atau istana yang punya akar budaya yang kuat. 



Lihatlah Rhoma Irama, Iis Sugiarto, Mansyur S, Meggi Z, A Rafik, dan masih banyak lagi, lagu dan musiknya enak merakyat. Di barisan campur sari Mantous yang dibelakangnya ada nama besar Ki Narto Sabdo dalang tenar dari Jawa. Ada Anjar Any dan sang maestro langgam Waljinah dibayangi Sang Legenda sekaligus maestro kroncong-langgam alm. Gesang.


Dari sini apakah kemudian kita bisa klasifikasikan dangdut atau campursari mereka itu ndeso, norak dan kampungan?


Pun kemudian ada sebagian kita yang menyatakan bahwa music-musik itu jadi ndeso dan norak karena mungkin perkembangan berikutnya beberapa pemusik yang terjerumus dan terjebak pada adegan goyang yang keterlaluan. Namun sekali lagi, sejatinya asal muasal campursari dan dangdut lahir dari cita rasa music para maestro yang luar biasa dengan kemampuan olah vocal dan karya nada yang sempurna.

Benar memang, belakangan banyak dangdut yang diiringi goyang yang seronok, ada goyang bor, goyang gergaji, goyang cor, goyang patah-patah ada lagi goyang itik, enthok, meri dan mungkin kedepan akan ada goyang-goyang lainnya entah dari nama material bangunan atau dari nama hewan yang tak bersalah. 

Ini sebuah perjalanan budaya yang tidak dapat di tolak, ketika lagu-lagu indah bertemu dengan kepentingan uang. Akhirnya karena mereka basenya adalah uang maka citarasa dan nilai dari lagu-lagu itu menjadi nomor sekian. Asal jadi duit ya diciptakan,, enak atau ga enak yang penting goyang. Semakin seronok semakin laku. 

Ini semua akhirnya mendegradasi music-musik campursari atau dangdut yang indah tadi ke comberan. Musik-musik ini dipinggirkan oleh pelakonnya sendiri demi uang dan demi popularitas. 

Tapi setiap kita yang suka dua music itu tetep bisa memfilter telinga dan panca indra untuk menikmati music-musik itu. Karena sejatinya keindahan music itu universal tidak bisa dinilai kastanya.


Entahlah… apa pendapat anda,, setidaknya saya masih dengerin dangdut dan campursari ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar