Secara literature entahlah saya
tidak sedang mengkajinya, tetapi saya pernah baca bahwa musik ini lahir dari jelata. Bukan music
yang lahir dari caffe atau bar-bar di sudut kota besar ditengah peradaban dunia. Tak ayal jika
penikmat music ini sering di cibir sebagai sudra, kampungan, ndeso, norak atau kelas
tiga-lah dalam dunia permusikan di Indonesia atau bahkan di dunia. Apa iya?
Tapi coba kita lihat kembali sahabat semua,
kenapa sekarang banyak bule jadi sinden, banyak jepang yang trampil
tang-tung jadi penabuh karawitan?
Karena bisa jadi dandut, campursari merupakan
transformasi dari gending-gending langgam jawa yang bersentuhan dengan dunia
modern. Oleh karena itu artinya music ini lahir dari sebuah budaya dalem
beteng atau istana yang punya akar budaya yang kuat.
Lihatlah Rhoma Irama, Iis Sugiarto,
Mansyur S, Meggi Z, A Rafik, dan masih banyak lagi, lagu dan musiknya enak
merakyat. Di barisan campur sari Mantous yang dibelakangnya ada nama besar Ki
Narto Sabdo dalang tenar dari Jawa. Ada Anjar Any dan sang maestro langgam Waljinah
dibayangi Sang Legenda sekaligus maestro kroncong-langgam alm. Gesang.
Dari sini apakah kemudian kita bisa
klasifikasikan dangdut atau campursari mereka itu ndeso, norak dan kampungan?
Pun kemudian ada sebagian kita
yang menyatakan bahwa music-musik itu jadi ndeso dan norak karena mungkin perkembangan
berikutnya beberapa pemusik yang terjerumus dan terjebak pada adegan goyang yang keterlaluan. Namun
sekali lagi, sejatinya asal muasal campursari dan dangdut lahir dari cita rasa music para
maestro yang luar biasa dengan kemampuan olah vocal dan karya nada yang
sempurna.
Benar memang, belakangan banyak
dangdut yang diiringi goyang yang seronok, ada goyang bor, goyang gergaji, goyang cor,
goyang patah-patah ada lagi goyang itik, enthok, meri dan mungkin kedepan akan ada goyang-goyang
lainnya entah dari nama material bangunan atau dari nama hewan yang tak bersalah.
Ini sebuah perjalanan budaya yang tidak dapat di tolak, ketika
lagu-lagu indah bertemu dengan kepentingan uang. Akhirnya karena mereka basenya adalah uang maka citarasa
dan nilai dari lagu-lagu itu menjadi nomor sekian. Asal jadi duit ya
diciptakan,, enak atau ga enak yang penting goyang. Semakin seronok semakin
laku.
Ini semua akhirnya mendegradasi music-musik campursari atau dangdut yang
indah tadi ke comberan. Musik-musik ini dipinggirkan oleh
pelakonnya sendiri demi uang dan demi popularitas.
Tapi setiap kita yang suka dua music itu tetep bisa memfilter telinga dan panca indra untuk menikmati music-musik itu. Karena sejatinya keindahan music itu universal tidak bisa dinilai kastanya.
Tapi setiap kita yang suka dua music itu tetep bisa memfilter telinga dan panca indra untuk menikmati music-musik itu. Karena sejatinya keindahan music itu universal tidak bisa dinilai kastanya.
Entahlah… apa pendapat anda,, setidaknya saya masih dengerin dangdut dan campursari ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar